Dan ke tempat inilah biksu So Jung pergi. Ia mencari Wol Ryung. Nampaknya mereka berteman akrab. Namun Wol Ryung yang dicarinya tidak tampak di manapun. Biksu itu menyadari sesuatu.
“Tidak, mungkinkah dia…,” katanya khawatir.
Seseorang melewati hutan dengan sangat cepat. Lompatannya ringan namun sangat tinggi melebihi pohon-pohon yang tertinggi sekalipun. Dialah Wol Ryung, pelindung Gunung Jiri.
Wol Ryung mendengar suara genderang ditabuh. Ia tertarik mendengar suara keramaian itu dan melihat ada keramaian pesta di tengah kota di bawah gunung. Wol Ryung tersenyum senang.
Di tengah pesta, seorang wanita cantik menabuh 5 genderang yang disusun berkeliling. Ia menari dan berputar sambil memukul genderang bergantian.
Wol Ryung berlari mendekati tempat pesta. Ia melihat sebuah rombongan “tak biasa” mendekati tempat pesta. Rombongan itu adalah kerangkeng kayu berisi 3 manusia. Dua orang gadis dan seorang pemuda. Mereka dibawa ke luar tempat pesta oleh beberapa pengawal.
Kerangkeng dibuka dan pengawal menyuruh mereka turun. Ketiganya diam saja, tapi akhirnya salah seorang gadis turun dari kerangkeng. Gadis yang satunya sepertinya wanita terhormat, namun pakaiannya bernoda darah. Pengawal tak sabaran dan menarik kaki gadis itu hingga gadis itu terjatuh ke tanah. Wol Ryung heran melihat kejadian itu. Ia mengamati dari atas pohon tak jauh dari sana.
“Nona!” seru gadis yang pertama turun menghampiri gadis yang jatuh. Rupanya ia seorang pelayan.
“Kakak, apa kau tidak apa-apa? Apa kau terluka?” seru si pemuda khawatir. Ia adik dari gadis yang terjatuh tadi. Lalu ia memarahi pengawal yang tadi menarik kakaknya.
Pengawal itu menertawakan si pemuda. Menyebutnya keturunan pengkhianat dan menyuruhnya berhenti bersikap seperti bangsawan.
Pemuda itu membentaknya seperti seorang atasan membentak bawahan. Pengawal itu marah dan mencengkeram pakaian pemuda itu. Sang pelayan berusaha menolong tuan mudanya.
“Lepaskan dia! Tidak bisakah kau memiliki sedikit perasaan? Siapa yang mengurus seluruh keluargamu selama ini? Bukankah Tuan kita? Bagaimana bisa kau berubah begitu drastis?” kata si pelayan.
Pengawal itu bertambah kesal dan menghempaskan di pemuda ke tanah. Ia lalu mengetuk pintu tempat pesta. Dua orang pelayan muncul. Pengawal itu berkata ia sudah melakukan tugasnya dan menyerahkan ketiga tawanan pada mereka.
Pelayan yang wanita menghampiri ketiganya dan menyuruh mereka masuk.
“Tempat apa ini?” tanya sang nona. Ia adalah Yoon Seo Hwa.
“Tempat apa? Apa kau tidak tahu apa itu Chunhwagwan?” tanya si pelayan.
“Chunhwagwan?! Bukankah itu tempat gisaeng?” kata Dam, si pelayan, kaget.
Seo Hwa juga tahu tempat apa itu Chunhwagwan. Ia nampak marah.
Sementara itu wanita penabuh genderang telah menyelesaikan tariannya dengan sempurna. Ia mendapat tepuk tangan yang meriah. Ia adalah Kepala Gisaeng Chunhwagwan, Chun Soo Ryun. (beda banget kan sama perannya di Naughty Kiss sebagai ibu Seung Joo?^^)
Di luar, Seo Hwa bersikeras tidak mau masuk. Kepala pelayan berkata Seo Hwa telah dijual sebagai gisaeng negara. Jika menolak maka akan dihukum mati.
“Bunuh saja aku! Aku lebih baik mati daripada masuk ke sana!”
“Dengar ya, aku benar-benar sibuk sekarang karena ada pesta pejabat. Jadi masuklah selama aku masih meminta baik-baik. Cepat masuk!” kepala pelayan tak sabar lagi dan mulai menarik Seo Hwa.
“Lepaskan aku! Sudah kubilang aku tidak mau masuk!” kata Seo Hwa tegas. Dam dan Yoon (adik Seo Hwa) membantu Seo Hwa agar kepala pelayan melepaskannya.
“Keributan apa ini?!” terdengar suara wanita yang sangat tegas. Mereka semua menoleh.
Gisaeng Chun keluar bersama para pengawalnya. Ia mengamati ketiga orang di hadapannya. Hanya si gadis bangsawan yang berani menatapnya balik dengan berani dan penuh tekad.
“Mereka anak siapa?” tanyanya pada kepala pelayan.
“Anak wakil menteri Yoon, yang baru-baru ini dieksekusi karena pengkhianatan,” kata kepala pelayan.
“Pengkhianat? Kalau begitu mereka anak-anak pengkhianat negara,” kata Gisaeng Chun.
“Hati-hati kalau berbicara,” ujar Seo Hwa marah. “Ayah kami telah difitnah dan dijebak! Beliau tidak mungkin melakukan pengkhianatan.”
“Itu bukan urusanku,” sahut Gisaeng Chun dingin. “Pokoknya kau telah dijual sebagai gisaeng negara. Mulai sekarang kau harus mengikuti aturan gisaeng.”
“Tidak akan.”
“Terserah, kau tidak punya pilihan!”
“Tidak peduli bagaimanapun, aku tidak akan masuk! Tidak akan menjadi gisaeng rendahan,” kata Seo Hwa tegas.
“Gisaeng rendahan? Begitu ya….. Jang So!” Gisaeng Chun memanggil pelayannya. “Telanjangi dia!”
Seo Hwa tertegun. Para pengawal Gisaeng Chun mengelilingi mereka bertiga. Tanpa ragu, Jang So merobek pakaian luar Seo Hwa.
“Nona!” seru Dam kaget. Yoon berteriak agar mereka berhenti. Tapi mereka dipegangi oleh para pengawal Gisaeng Chun.
Jang So merobek rok Seo Hwa lalu merobek rok dalamnya. Tubuh Seo Hwa hanya terbalut pakaian dalam sekarang. Seo Hwa gemetar, menahan tangis, menahan amarah karena penghinaan yang dialaminya. Pelan-pelan ia menutupi tubuhnya dengan tangan. Tapi ia tetap berusaha menguasai dirinya dan menggenggam pakaian dalamnya erat-erat. Walau tubuhnya gemetar, tapi wajah Seo Hwa tetap wajah seorang wanita bangsawan, yang penuh harga diri.
“Ikat dia.” Kata Gisaeng Chun.
Para pengawal mengikat Seo Hwa pada sebatang pohon. Gisaeng Chun lalu memerintahkan agar Yoon dan Dam dikurung di gudang. Ia memerintahkan Seo Hwa tetap diikat sampai ia menyuruh melepaskannya, juga tidak boleh diberi makan dan minum tanpa perintahnya.
Seo Hwa menatap Gisaeng Chun, shock dan benci. Gisaeng Chun balik menatapnya, tidak terpangaruh sedikitpun, lalu masuk ke dalam. Para pengawal membawa Dam dan Yoon ke dalam, meninggalkan Seo Hwa sendirian di luar. Dam dan Yoon dikurung di gudang.
Kepala pelayan membereskan pakaian Seo Hwa yang berserakan. Seo Hwa bertanya sebenarnya apa yang terjadi, mengapa ia diikat?
“Apa kau tidak tahu kau diikat pada mohon apa? Itu pohon aib. Gadis dari keluarga bangsawan sepertimu yang keras kepala akan dijinakkan oleh pohon aib ini. Lepaskan harga dirimu sebagai bangsawan. Tinggalkan harga dirimu pada pohon itu. Saat pagi tiba, mintalah belas kasihan pada kepala gisaeng. Mintalah maaf. Atau kau akan menderita hal yang lebih buruk,” kepala pelayan menasihati.
Kepala pelayan lalu masuk meninggalkan Seo Hwa. Seo Hwa berusaha memanggilnya lagi tapi kepala pelayan tidak mempedulikannya.
“Bagaimana bisa….kau melakukan hal ini pada manusia? Tolong lepaskan aku! Tolong lepaskan aku!” serunya sambil menangis menyayat hati.
Wol Ryun mengamati semua kejadian tadi dan merasa tersentuh. Butiran-butiran cahaya biru seperti kunang-kunang melayang-layang di sekitarnya.
“Tidak, aku tidak bisa. Aku sudah berjanji pada So Jung untuk tidak ikut campur urusan manusia. Aku tidak bisa,” katanya pada diri sendiri. Ia beranjak pergi.
“Tolong aku….tolong aku…..” terdengar suara lirih Seo Hwa. Wol Ryung tidak jadi pergi. Ia tak tega melihat Seo Hwa yang terus menangis.
Kilas balik:
Seo Hwa pulang ke rumahnya dan melihat ayahnya berlutut di tanah dikelilingi para pengawal kerajaan. Ternyata Raja telah memberi perintah agar ayah Seo Hwa, Yoon Gi Soo, dihukum mati karena telah berkhianat.
Wakil Menteri Yoon terpana.
“Gwang Woon, mengapa kau menuduhku dengan tuduhan palsu seperti ini setelah persahabatan kita selama bertahun-tahun?” sesal ayah Seo Hwa.
Jo Gwang Woon tertawa sinis.
“Kau menyebutku teman tapi kau selalu menganggapku rendah karena asal-usulku. Itu sebabnya aku datang untuk memberikan pelajaran padamu. Kau tidak boleh memperlakukanku seperti itu.”
Ayah Seo Hwa menghela nafas panjang. Seo Hwa berteriak-teriak memanggil ayahnya tapi ia dipegangi oleh dua orang pengawal agar tidak mendekat. Jo Gwan Woong menoleh melihat Seo Hwa dengan licik. Ia lalu menghampiri ayah Seo Hwa dan berbisik.
“Jangan terlalu sedih. Aku akan membuat puteri kesayanganmu menjadi gisaeng negara dan memperlakukannya dengan baik. Aku bertanya-tanya apa rasanya tidur dengan wanita bangsawan dari keluarga terhormat?” Jo Gwan Woong tertawa.
Ayah Seo Hwa marah mendengar perkataan menghina seperti itu. Ia berteriak lalu menarik pedang dari seorang pengawal.
“AYAAAAAH!!!” teriak Seo Hwa.
Teriakannya terhenti saat darah memuncrat ke wajah dan pakaiannya. Ayahnya telah ditebas oleh Jo Gwan Woong. Seo Hwa shock melihat kematian ayahnya.
Jo Gwan Woong menoleh pada Seo Hwa sambil tersenyum menang. Air mata mengalir di pipi Seo Hwa. Ia berteriak histeris.
Benar-benar pria mengerikan. Jo Gwan Woon saat ini berada di dalam Chunhwagwan bersenang-senang dengan para gisaeng. Gisaeng Chun masuk menemuinya. Kelihatannya ia tidak menyukai Jo Gwan Woong tapi dengan sopan ia memberi hormat.
“Selamat, Tuan. Saya dengar Tuan dipromosikan menjadi pejabat senior ranking 5.”
“Cepat sekali. Begitu cepatnya rumor beredar,” ujar Gwan Woong senang. Tapi Gisaeng Chun tidak tersenyum sama sekali.
Gwan Woong berkata ia mendapat kenaikan pangkat setelah menangkap pengkhianat.
“Maksud Tuan, Wakil Menteri Yoon? Saya rasa Tuan pernah membawanya ke sini beberapa kali sebagai teman,” kata Gisaeng Chun.
“Kami pernah berteman. Walau aku berasal dari keluarga miskin, aku tetaplah pejabat negara. Aku tidak mungkin memihak pengkhianat walau dia temanku. Apa kau mengerti?”
“Tentu saja saya mengerti,” tatapan tajam Giseang Chun tidak pernah beralih dari Gwan Woong.
Gwan Woon berkata memikirkan Wakil Menteri Yoon tetap saja membuatnya sangat sedih. Karena itu ia datang menemui Gisaeng Chun. Ia telah membuat janji dengan Wakil Menteri Yoon sebelum beliau meninggal.
“Puteri Yoon Gi Soo, saat ia menjadi gisaeng negara, aku berjanji padanya menjadi pria yang menidurinya untuk pertama kali.”
Tentu saja Gisaeng Chun tahu Gwang Woon berbohong tapi ia tidak berani menentang.
“Karena itu aku ingin mengadakan ritual pertamanya sebagai gisaeng. Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mempersiapkannya?”
“Ia harus dilatih sebagai gisaeng dan didaftarkan. Sedikitnya membutuhkan waktu 2-3 bulan.”
Gwan Woong merasa itu terlalu lama. Ia memberi waktu 5 hari.
“Aku beri waktu 5 hari untuk mempersiapkannya.”
“Tapi Tuan….”
“Kubilang 5 hari! Mengerti?” Gwan Woon menatap Gisaeng Chun dengan tegas. Jelas ia tak mau dibantah.
Keesokan paginya Seo Hwa terbangun dan mendapati dirinya menjadi tontonan penduduk. Mereka menertawakannya dan menghinanya. Bahkan anak-anak kecil melemparinya dengan batu hingga kepalanya terluka.
Seo Hwa teringat perkataan kepala pelayan semalam mengenai pohon aib.
“Aku tidak akan menyerah karena ini. Tidak akan. Aku tidak akan menjadi gisaeng. Tidak akan!” ujarnya pada diri sendiri.
Tak jauh dari sana, Wol Ryung masih mengamatinya dari atas pohon. Hari-hari berlalu, Seo Hwa semakin lemah dan pucat. Sementara itu Wol Ryung masih bimbang apakah ia harus menolong Seo Hwa.
Tiga hari berlalu dan Seo Hwa tetap belum menyerah. Tiga hari tanpa makan dan minum. Kepala pelayan bertanya apa yang akan Gisaeng Chun lakukan. Waktu yang diberikan Gwan Woon tinggal 3 hari lagi. Mendengar itu Gisaeng Chun yang awalnya bersikap tenang mau tak mau mulai berpikir.
Seo Hwa akhirnya jatuh pingsan. Tak tahan lagi, Wol Ryung turun dari pohon dan hendak menolong. Tapi seseorang menahannya. Biksu So Jung.
“Jika aku tahu kau ada di sini, aku tidak akan menjelajahi seluruh hutan,” gerutunya. “Hentikan, biarkan manusia yang menyelesaikannya (masalah Seo Hwa).”
“Tapi ini terlalu kejam, dan dia masih sangat muda. Dia diikat seperti itu sudah tiga hari.”
“Ya, dia masih muda. Dan benar, ini kejam. Tapi ini takdirnya. Kau seharusnya tidak ikut campur.”
Wol Ryung menoleh melihat Seo Hwa yang masih pingsan. Ia lalu melayang menuju Seo Hwa. So Jung melemparkan untaian tasbihnya ke arah Wol Ryung. Untaian tasbih itu melingkari pergelangan tangan Wol Ryung. Wol Ryung kehilangan kekuatannya dan terjatuh ke tanah.
“Apa kau sudah lupa janji yang kau buat denganku?” tanya So Jung.
Wol Ryung tidak peduli. Ia sudah memutuskan ingin menolong Seo Hwa. So Jung menghalanginya dengan tongkat. Wol Ryung menepisnya berkali-kali. So Jung terpaksa melawannya.
Keduanya bertahan tidak mau mengalah. Wol Ryung berkata ia hanya ingin membantu anak malang yang tidak berdaya.
“Kau berjanji padaku kau tidak akan ikut campur urusan manusia!”
“Satu kali saja! Apa salahnya satu kali saja!”
“Pengecualian yang pertama adalah kesalahan yang paling utama. Sekalinya kau melakukan pengecualian, yang kedua dan ketiga menjadi lebih mudah, “So Jung terus bertahan.
Wol Ryung berteriak kesal sambil mencampakkan tongkat So Jung ke tanah.
“Berhentilah mengacaukan takdir manusia. Ingatlah bahwa kau sangat berbeda dengan manusia,” ujar So Jung.
Ia berjalan kembali menuju hutan. Tiba-tiba mata Wol Ryung menyala. Ia memungut tongkat So Jung lalu melemparnya kuat-kuat ke arah So Jung.
So Jung yang sedang memungut topinya untunglah cepat mengelak. Tongkat itu menancap di pohon. So Jung terkejut dan menatap Wol Ryung tak percaya, apakah Wol Ryung hendak membunuhnya?
Mata Wol Ryung kembali seperti semula. Ia terlihat lega. So Jung menoleh ke arah tatapan Wol Ryung. Di pohon menancap sebuah ular besar. Wol Ryung mendekati pohon dan mengulurkan tangannya ke arah ular itu. Ular itu perlan-pelan terurai menjadi serpihan-serpihan dan hilang terbawa angin.
Wol Ryung melirik temannya yang masih bengong.
“Bukankah aku baru saja mengacaukan takdirmu? Apakah aku sudah melewati batas yang seharusnya tidak kulewati?” tanyanya. Apakah tadi seharusnya ia tidak menolong So Jung jika itu yang dimaksud mengacaukan takdir?
Wol Ryung sekali lagi menegaskan ia hanya ingin membantu anak malang yang tidak berdaya. So Jung tidak bisa berkata apa-apa lagi. Wol Ryung berjalan menuju tempat Seo Hwa diikat. Tapi Seo Hwa sudah tidak ada. Hanya tersisa tali yang pernah mengikatnya. Wol Ryung menghela nafas panjang dan terlihat kecewa.
Seo Hwa membuka matanya. Dam yang khawatir menangis senang melihat nonanya sudah sadar. Tadinya ia kira nonanya akan mati karena demam semalaman. Seo Hwa melihat sekelilingnya. Ia berada dalam sebuah kamar.
“Di mana aku?”
“Apa maksud Nona? Tentu saja di Chunhwagwan. Kepala gisaeng berubah pikiran dan memerintahkan agar Nona dibawa masuk.”
Mendengar itu Seo Hwa segera bangkit. Ia menyuruh Dam minggir.
“Sudah kubilang walau aku mati, aku tidak akan masuk ke tempat ini. Cepat menyingkir, aku tidak akan pernah tinggal di tempat seperti ini.”
“Apa yang akan kaulakukan jika kau tidak tinggal di sini,” seru Gisaeng Chun yang sejak tadi mendengar di ambang pintu. “Sekalinya seorang gadis dijual menjadi gisaeng negara, ia tidak memiliki pilihan selain hidup sebagai gisaeng. Ia harus menjual minuman, tawanya, bahkan tubuhnya.”
“Aku lebih baik diikat di pohon aib. Lebih baik aku di sana dan mati,” kata Seo Hwa tegas. Ia bangkit berdiri dibantu oleh Dam karena tubuhnya masih sangat lemah.
Gisaeng Chun memberi isyarat pada kepala pelayan. Kepala pelayan membuka jendela. Seo Hwa terkejut melihat adiknya diikat dan dikelilingi beberapa pengawal.
Yoon malah senang melihat kakaknya tidak apa-apa. Gisaeng Chun bertanya lagi apakah Seo Hwa masih menolak menjadi gisaeng.
“Pikirkan baik-baik. Jawabanmu akan menentukan apakah adikmu akan hidup atau mati.”
“Kakak, jangan khawatirkan aku. Aku tidak peduli pada apa yang akan terjadi padaku. Jangan menjadi gisaeng!” seru Yoon.
Seo Hwa menatap Gisaeng Chun dengan penuh kebencian. Gisaeng Chun bertanya apa yang akan Seo Hwa lakukan.
“Kakak…!”
“Apa yang akan kaulakukan!”
Seo Hwa tidak menjawab. Gisaeng memerintahkan pukulan dilaksanakan. Tubuh Yoon ditelungkupkan di atas bangku kayu lalu di tutupi dengan tikar. Kemudai empat orang bergantian memukuli Yoon dengan tongkat.
Seo Hwa melihat adiknya dengan hati hancur. Yoon berusaha sekuat tenaga menahan rasa sakit walau darah mulai keluar dari mulutnya. Ia sama sekali tidak berteriak karena tidak mau Seo Hwa menyerah demi dirinya.
Melihat pukulan bertubi-tubi yang dialami adiknya dan tampaknya Yoon tak tahan lagi., Seo Hwa berteriak.
“Hentikan! Hentikan!”
Gisaeng Chun mengangkat tangannya menyuruh mereka berhenti.
“Lepaskan adikku. Aku…akan melakukan apapun yang kauinginkan. Lepaskan adikku.”
“Kakak!!” teriak Yoon.
Gisaeng Chun menyuruh kepala pelayan mendandani Seo Hwa. Yoon terus berteriak memanggil kakaknya sambil menangis.
Maka Seo Hwa mulai dipersiapkan untuk menjadi gisaeng. Ia dimandikan. Pundaknya ditato sebagai tanda ia adalah gisaeng negara. Seo Hwa menjalani semuanya seakan-akan ia sudah mati dan tak merasakan apapun lagi.
Yoon telah dilepaskan dan bekerja sebagai pelayan di Chunhwagwan membantu Jang So. Jang So melihat Seo Hwa yang telah didandani melintas di depan mereka dan terkagum-kagum dengan kecantikannya yang seperti peri.
Yoon melihat kakaknya dengan sedih.
“Sayang sekali, mengapa harus Pejabat Jo,” keluh Jang So.
“Apa maksudmu? Pejabat Jo?”
“Maksudku Jo Gwan Woong. Ia akan tidur dengan kakakmu malam ini,” kata Jang So. Hmm...berarti banyak yang tidak menyukai Jo Gwan Woong. Ya iyalah…..
Yoon memberitahu Dam mengenai hal ini. Dam terkejut, pria yang menghancurkan keluarga Tuannya akan meniduri Nonanya malam ini? Yoon membenarkan. Gwan Woong tidak puas hanya dengan menghancurkan kelurga mereka dan sekarang hendak menodai kakaknya.
“Jadi, bisakah kau membantu kami, Dam?”
“Saya? Bagaimana caranya?”
Yoon membisikkan sesuatu. Dam terkejut. Jika ketahuan mereka akan berada dalam masalah besar.
“Aku tahu kau yang akan bertanggungjawab sendirian. Aku sendiri sangat terluka memintamu melakukannya. Tapi tidak ada lagi yang bisa melakukannya kecuali kau. Bagaimanapun juga kita harus menghentikan Jo Gwan Woong menodai kakakku.”
Yoon menggenggam tangan Dam dan memohonnya untuk menolong kakaknya.
Seo Hwa sedang didandani oleh kepala pelayan dan beberapa gisaeng. Mereka memuji kecantikan Seo Hwa.
“Apa gunanya cantik jika hanya menjadi seorang gisaeng rendahan?” kata seorang dari mereka. “Ia harus menuangkan minuman jika disuruh. Ia juga harus menyerahkan tubuhnya jika diminta.”
Mereka bertanya-tanya mengapa Seo Hwa melakukan ritual pertama padahal belum terdaftar secara resmi. Seorang dari mereka berkata itu semua karena Jo Gwan Woong. Jika Jo Gwan Woon tidak senang, ia bisa membunuh siapa saja. Bahkan Gisaeng Chun pun selalu berhati-hati jika berhadapan dengannya.
Mendengar nama pembunuh ayahnya, Seo Hwa tertegun. Kepala pelayan khwatir melihat reaksi Seo Hwa. Ia menyuruh para gisaeng itu keluar.
“Apa maksudnya itu? Jo Gwan Woong?” tanya Seo Hwa pada kepala pelayan. “Jangan-jangan….aku akan tidur dengannya?”
Kepala pelayan sebenarnya merasa iba pada Seo Hwa tapi ia berkata tidak ada yang bisa Seo Hwa lakukan. Ini semua karena Seo Hwa lahir dengan takdir buruk.
Masih tergambar di benak Seo Hwa bagaimana ayahnya tewas di tangan Jo Gwan Woong. Ia mengambil sebuah tusuk konde yang panjang. Dengan penuh tekad ia mengangkat tusuk konde yang tajam itu.
www.kdramatized.com/2013/04/sinopsis-gu-family-book-kang-chi.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar